Qurban berasal dari kata qarraba – yuqarribu – qurbaanan, yang berarti
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tetapi dalam perkembangan
selanjutnya diartikan sebagai peribadatan dalam bentuk sembelihan
binatang qurban dengan binatang
yang sudah ditentukan. Dalam aspek hukum, ibadah qurban bisa dibedakan
menjadi ada yang bersifat wajib, dan ada yang bersifat sunnah. Yang
pertama disebut “hadyu” yang pelaksanaannya dibebankan untuk
dilaksanakan bagi mereka yang melaksanakan ibadah haji tamattu’ dan
qiran, sementara bagi tidak melaksanakan ibadah haji bersifat sunnah
yang disebut dengan udhhiyyah.
Sejarah qurban
pada dasarnya berawal dari kisah Qabil dan Habil pada masa Nabi Adam
AS. Tetapi ibadah qurban yang kita laksanakan adalah menurut millah Nabi
Ibrahim. Yaitu ketika Nabi Ibrahim diuji oleh Allah swt. Untuk
menyembelih anaknya yang kemudian oleh Allah diganti dengan sembelihan
kambing. Jadi, ibadah qurban berawal dari millah Nabi Ibrahim yang
kemudian diperbaharui dan disempurnakan oleh syari’at Nabi Muhammad SAW.
Ibadah
qurban yang kita laksanakan, seyogyanya berupaya untuk sesuai dengan
apa yang disunnahkan oleh Rasulullah saw. Oleh karena itu, agar ibadah
qurban kita diterima oleh Allah swt, harus diperhatikan beberapa hal
sebagai tata cara qurban, yaitu:
1.
Waktu penyembelihan harus dilaksanakan setelah kita
melaksanakan shalat ‘Id, berbeda dengan zakat fitrah yang harus
dibagikan sebelum pelaksanaan shalat ‘Id. Pernah terjadi dalam sejarah,
seorang sahabat yang bernama Abu Burdah menyembelih binatang qurban
sebelum shalat ‘Id, kemudian Nabi menghukumi daging sembelihannya dengan
daging biasa saja bukan daging qurban.
2. Binatang
yang akan disembelih haruslah tidak cacat dan yang gemuk, tapi bukan
yang tebal bulunya. Karena ada sebagian masyarakat kita yang mensyarah
secara harfiyah sebuah hadits yang mengisahkan ketika ada yang bertanya
kepada Nabi tentang “untuk qurban itu?” Kemudian nabi menjawab, “Ini
adalah dari millah Ibrahim”. Kemudian sahabat bertanya lagi, “Kami
mendapatkan apa dari Qurban?”. Nabi menjawab, “Dari setiap bulu kambing
itu ada satu kebaikan”. Hadits ini dipahami bahwa binatang qurban harus
banyak bulunya, padahal tidak demikian. Ditambah lagi kalau kita
perhatikan dalam sejarah Nabi Ibrahim bahwa binatang sembelihan yang
menjadi ganti Nabi Ismail disebut dengan kata dzibhin ‘azhiim
(sembelihan yang gemuk)
3. Mustahiq qurban haruslah
diprioritaskan fakir miskin, berbeda dengan pembagian zakat yang
menggunakan 8 ashnaf. Bahkan amilin pun tidak mendapat bagian karena
Rasulullah pernah melarang untuk member upah bagi siapa yang menyembelih
binatang qurban. Walaupun di daerah kita selalu saja daging qurban
dibagikan secara rata, dan ini pun pernah terjadi pada zaman Rasulullah.
Sampai Khalifah Umar pun kebagian daging qurban, tetapi beliau marah
ketika menerimanya, lalu Nabi bersabda, “Terima saja, setelah itu
terserah kamu untuk diberikan lagi kepada fakir miskin”. Dari sini
setidaknya dapat diambil sebuah pesan bahwa setiap ‘Idul Adhha semua
orang dituntut untuk berkurban. Sampai kalau kita buka kitab-kitab fikih
akan kita dapati sebuah kisah untuk menampakkan spirit pengorbanan
sampai-sampai mereka (sahabat yang miskin) menyembelih seekor ayam lalu
dibagikan kepada yang lebih miskin dari mereka, jelas ii bukan
sembelihan qurban tetapi kita lihat spirit pengorbanannya.
4.
Mensedekahkan seluruh bagian dari hasil sembelihan. Sebagaimana
Nabi pernah memerintahkan kepada Sayyidina Ali untuk membagi-bagikan
daging, kulit, sampai aksesoris untuk bisa dibagikan, disedekahkan dan
dinikmati.
Jika tidak memperhatikan hal-hal di atas, maka
dikhawatirkan sembelihan tersebut akan jatuh kepada daging/sembelihan
biasa, bukan qurban.
Hikmah qurban.
Hikmah disyari’atkannya ibadah qurban bisa dilihat dari tiga aspek,
yaitu: Pertama, aspek ketaatan kepada syari’at (ajaran). Kedua, aspek
pengorbanan sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim ketika
diperintahkan untuk menyembelih anaknya sendiri. Ketiga, aspek sosial
dilihat dari prioritas pembagian daging qurban, yaitu kepada para faqir
miskin.
Kalau melihat kondisi masyarakat sekarang, makin banyak
saudara kita yang tergolong masyarakat miskin dan masih memerlukan
bantuan kita. Ketika pendistribusian daging qurban dibagikan ke
daerah-daerah miskin atau terpencil, hal tersebut akan mempunyai nilai
(pahala) lebih dari ibadah qurban yang kita laksanakan. Setidaknya akan
mengikis sifat riya, ingin dilihat bahwa saya berkurban. Apalagi ketika
dilihat dari nilai-nilai ukhuwah, ketika dibagikan ke daerah-daerah
terpencil maka prinsip kaljasadil waahid (bagaikan satu tubuh) akan
tercipta. Dengan kata lain saudara kita di sana akan merasa diperhatikan
oleh saudaranya sesame muslim yang memiliki kelebihan harta. Jadi sudah
saatnya kita mengubah tata cara penyembelihan yang selalu terpusat di
perkotaan yang notabene selalu terjadi penumpukan daging qurban, kepada
distribusi qurban ke pelosok-pelosok adaerah yang miskin dan terpencil.
Kita
juga hendaknya meneladani Nabi Ibrahim sebagai “Insan Qurban”.
Sebagaimana kita lihat dari mulai kisah pengorbanan diri untuk dibakar,
pengorbanan beliau ketika berda’wah yang dilandasi kesabaran, punya anak
harus disembelih, dan banyak hal lainnya lagi yang setidaknya harus
menjadi spirit pengorbanan bagi kepentingan agama ataupun umat
Home » Unlabelled » Sejarah Syariat Tata Cara Qurban dan Hikmahnya.
Sabtu, 27 Oktober 2012
Sejarah Syariat Tata Cara Qurban dan Hikmahnya.
lainnya dari
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar